Dering Gawai di Tengah Misa

Ada seorang lelaki pergi ke gereja. Dia lupa untuk mematikan gawainya. Dan tiba-tiba gawainya berdering pada saat seluruh umat sedang hening berdoa. Ia sangat terkejut dan buru-buru mematikan. Tetapi pemimpin ibadat sudah merasa terganggu. Ia menatap tidak suka. Seorang hadirin yang lain juga ikut menegurnya di hadapan umat. Karena sudah menganggu keheningan. Istrinya juga mengomeli sepanjang perjalanan pulang untuk kealpaannya mematikan Gawai. Semua yang tahu akan dapat menangkap rasa malu dan perasaan bersalah di wajah lelaki itu. Setelah kejadian yang disesalinya itu, dia tidak pernah ke gereja itu lagi.

Fenomena Gawai di Tengah Umat

Cerita pendek di atas adalah sebuat ilustrasi, betapa gawai yang membawa banyak manfaat pada satu sisi, juga dapat membawa kerepotan pada sisi yang lain. Di banyak gereja sudah dapat dengan mudah dijumpai tulisan-tulisan pengingat untuk mematikan gawai. Biasanya ditempelkan pada tempat-tempat yang mudah terlihat dengan kalimat atau bentuk tulisan yang cukup mencolok.

Meski demikian, masih mudah dijumpai gawai-gawai yang belum dimatikan selama peribadatan berlangsung. Hal ini ada dua konsekuensi. Pertama, orang lain akan terganggu. Secara ekstrim digambarkan dalam cerita ilustrasi di atas. Kedua, tentu pemilik Gawai juga ikut terganggu. Paling kurang konsentrasinya. Sisanya, dapat juga menimbulkan rasa bersalah karena sudah menganggu umat lain.

Pekembangan teknologi komunikasi yang terkemas dalam ponsel pintar sudah merambah ke semua lapisan masyarakat. Hampir semua orang dewasa memiliki. Bahkan anak-anak di bawah umur ada yang sudah diberi ponsel oleh orang tuanya.

Pada saat misa berlangsung juga tidak jarang mudah ditemukan umat yang mengintip ponselnya sekedar untuk menengok pembaharuan lama media sosial. Beberapa menyempatkan berselancar di dunia maya dengan berbagai alasan.

Paus Fransiscus tentang Gawai

Pada misa di Paroki San Pier Damiani di Roma pada tanggal 21 Mei 2017, Paus Fransiscus mengatakan bahwa sangat terganggu ketika ada yang memotret dirinya selama misa berlangsung. Terutama bila orang itu adalah seorang imam atau uskup. Berikut kutipan lebih lengkap dari https://indonesia.ucanews.com/2017/11/09/paus-saya-terluka-melihat-mereka-gunakan-gawai-saat-misa/ :

“Ini mengganggu saya saat saya merayakan Misa di lapangan atau di basilika dan saya melihat begitu banyak ponsel di udara, tidak hanya dari umat, tapi juga dari beberapa imam dan uskup … Tolong … Misa bukan sebuah pertunjukkan, tapi sebuah perjumpaan dengan kisah Sengsara dan Kebangkitan Tuhan.”

foto diambil dari http://gerejakatolikpasuruan.blogspot.com/2015/01/paus-fransiskus-ajak-umat-letakkan.html

 

Paus mengatakan dalam beberapa bulan ke depan dia akan berbicara tentang Ekaristi pada katekese hari Rabu untuk menjelaskan makna Misa.

“Sudahkah Anda melihat bagaimana anak-anak membuat tanda salib? Anda tidak tahu apa yang mereka lakukan, apakah itu membuat tanda salib atau menggambar. Mereka melakukannya seperti ini dan tidak tahu bagaimana …,” kata paus.

“Kita perlu belajar dan mengajar anak-anak untuk melakukannya dengan benar. Begitulah Misa dimulai, kehidupan dimulai, hari dimulai. Itu berarti kita telah diselamatkan oleh Salib Tuhan. Lihatlah anak-anak dan ajarkan mereka untuk membuat tanda salib dengan benar,” lanjut Paus Fransikus seperti dilaporkan Romereports.com

Paus Fransiskus mengingatkan bahwa, sama seperti para martir menyerahkan hidup mereka untuk membela Ekaristi, ada banyak orang Kristen saat ini yang menghadapai berbagai jenis penganiayaan untuk pergi Misa. Dia meminta umat Katolik untuk berhenti sejenak dan merenungkan makna Misa.

“Pikirkan … Saat Anda pergi Misa, Tuhan ada di sana. Anda terganggu, melamun … tapi Tuhan ada di sana. Mari pikirkan ini … ,” kata paus.

“[Tapi] Romo, Misa membosankan. Apa? Tuhan tidak mengatakan Misa membosankan?” ‘Tidak, tidak, bukan Misanya, tapi para imam. Para pastor harus berubah! Tuhan ada di sana. Mengerti? Jangan lupakan itu. ”

Ini adalah seri katekese ketujuh dari Paus Fransiskus. Selain menyelesaikan seri Year of the Faith yang dimulai oleh Benediktus XVI, paus telah mendedikasikan katekese tentang sakramen, karunia Roh Kudus, Gereja, keluarga, sukacita belas kasihan dan pengharapan.

Menomorsatukan Gawai, Menomorduakan Tuhan

Contoh lain. Seorang perempuan muda tampak melenggak-lenggokan kepalanya, kadang memajukan sedikit wajahnya, melengkungkan sedikit senyuman lalu terdengar bunyi klik-klik beberapa kali. Rupanya si perempuan muda itu sedang melakukan swafoto. Sayangnya, kejadian itu tidak terjadi di alam terbuka, di tempat wisata, di tepian pantai atau di atas perbukitan yang indah. Kejadian itu berlangsung di dalam gereja. Saat misa masih berlangsung! Fenomena apakah ini?

Begitulah kejadian yang sungguh memprihatinkan ini acap kali terjadi di dalam gereja kita. Dengan tanpa merasa kikuk, beberapa umat melakukan swafoto. Beberapa umat lain yang duduk di bangku belakang atau di samping gereja dengan diam-diam mengambil gawai mereka dari saku atau tas mereka, menekan tombol power, membuka medsos lalu asyik dengan gawainya sendiri. Bila sudah demikian, ritual gereja akan dilupakan, kotbah romo diabaikan dan Tuhan akan dinomorduakan.

Bagi mereka, gawai sebagai piranti komunikasi dengan fitur-fitur canggih ini sudah menjadi “illah” lain yang memanjakan hidup mereka. Itulah gambaran sebagian oknum umat Katolik yang sudah terserang adiksi gawai. Akibatnya interaksi sosial dan interaksi dengan Tuhan semakin terkikis.

Dengan kata lain, mereka sudah terjangkit virus “phubbing”, yakni sibuk sendiri dengan gawainya dan acuh dengan kejadian atau orang di sekitarnya. Bila sudah demikian itu, di manakah Tuhan ditempatkan?

Tentunya sangatlah tidak etis menggunakan gawai saat misa berlangsung khususnya bila itu hanya ditujukan untuk kesenangan pribadi saja. Suasana yang hikmad tentunya akan tercederai dan umat lain juga akan terusik. Gawai semestinya digunakan dengan teramat bijak sebagai sarana komunikasi untuk semakin memuliakan Tuhan. Bukan sebaliknya semakin meniadakan Tuhan. Jangan sampai juga gawai yang kita miliki justru menjauhkan dan memisahkan kita dengan Tuhan. Suasana selama misa mestinya diciptakan sehikmad mungkin karena sejatinya dalam keheningan Tuhan lebih mudah ditemukan. Gawai tidak boleh mengusik kekhusukan berdoa dan ritual perayaan ekaristi sebagai ungkapan mencintai Tuhan.

Bukankah dalam kesunyian bisa ditemukan kedamaian? Sebagaimana ungkapan “Solitudinem faciunt, pacem appellant” – mereka menciptakan kesunyian dan mereka menyebutnya kedamaian.

Tentu melarang sepenuhnya penggunaan gawai selama misa juga bukan solusi yang tepat karena bagaimanapun juga gereja juga harus bersikap adaptif terhadap perkembangan teknologi komunikasi. Beberapa umat menggunakan gawai dengan fitur kameranya untuk mendokumentasikan kejadian penting, misalnya, saat ada baptisan bayi. Dan rasanya ini sah-sah saja. Yang perlu terus diingatkan kepada umat adalah untuk menggunakan gawai secara bijak. Misalnya, gawai bisa dilengkapi dengan aplikasi-aplikasi rohani semacam E-Katolik sehingga umat bisa membaca kitab suci dengan menggunakan peranti canggih ini. 

Gawai sebagai sebuah produk teknologi akan menjadi kian bermakna kehadirannya bila ia digunakan secara bijak. Semestinya, bukan gawailah yang mengontrol kehidupan kita, namun kitalah yang semestinya mengontrol gawai yang kita miliki.

Maka hentikan berswafoto dan menggunakan gawai secara berlebihan saat misa berlangsung dan tempatkan Tuhan pada keseluruhan budi dan pikiran kita. Biarkan Tuhan merajai hidup kita, dan janganlah kita menyingkirkan Tuhan hanya karena kita terlena dengan kecanggihan teknologi. 

 

Penulis: Yusup Priyasudiarja dan Adrian Diarto

 

Adrian Diarto

Meskipun apa adanya, pengalaman selalu menghamparkan harta karun untuk dikagumi. Pun bila tampak kecil dan sederhana. Atau bahkan biasa-biasa saja. Banyak menulis tentang hal sehari-hari yang sering terabaikan dan berlalu begitu saja.

Learn More →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *