Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi 2018 – Hari ke – 14

-Merenungkan-
Sunatan

Seusai penerimaan rapor kenaikan kelas, Risang, bocah berusia 9 tahun kelas IV SD berkata kepada ibunya dengan wajah ceria, “Ibu, minggu depan saya diantar ke rumah sakit, ya. Saya minta sunat. Habis teman-teman sudah pada sunat.” Pada saat liburan kenaikan kelas, biasanya anak laki-laki yang sudah menginjak usia 8 tahun meminta untuk disunatkan.

Sebagai orang beriman, kita pun perlu mengetahui makna sunat ini, agar semakin dapat menghayati iman kita.
Sebagai penganut Agama Yahudi, Yesus pun disunatkan pada hari ke-8 setelah kelahiran-Nya (Luk. 2:21). Dengan berpegang pada Kitab Suci, Gereja Katolik mengajarkan bahwa hukum sunat jasmani dalam Perjanjian Lama merupakan tanda dan persiapan bagi penggenapannya dalam sunat rohani, yaitu Baptisan dalam Perjanjian Baru.

Katekismus Gereja Katolik no. 527 menjelaskan bahwa “Penyunatan Yesus, pada hari kedelapan sesudah kelahiran-Nya adalah suatu bukti bahwa Ia termasuk dalam keturunan Abraham dalam bangsa perjanjian, bahwa Ia takluk kepada hukum dan ditugaskan untuk ibadah Israel, yang dalamnya Ia akan mengambil bagian sepanjang hidup-Nya.

Ia adalah pratanda ‘penyunatan yang diberikan Kristus’: ‘Pembaptisan’ (Kol. 2:11-12)”. Dengan mengambil  dan menjalankan sunat, maka Kristus dapat membebaskan manusia dari hukum ini dan memberikan hukum yang lebih sempurna. Yesus tidak membatalkan hukum Taurat tetapi menggenapi dan menyempurnakan hukum Taurat itu.

Tentu sunatan sendiri memiliki makna yang positif bagi kesehatan. Tetapi secara rohani, bila seorang anak Katolik disunatkan, mestilah dipahami bahwa anak ini ingin mengikuti Yesus Kristus agar dengan jiwa raga yang sehat, anak itu tumbuh dan berkembang sebagai murid Kristus serta siap menerima panggilan dan perutusan menurut kehendakNya di Gereja dan masyarakat.