“Saya meyakini bahwa obat adalah perantara kesembuhan. Setiap akan mengonsumsi obat, selalu saya doakan terlebih dahulu. Saya sangat percaya kepada penyelenggaraan Tuhan,” begitu keyakinan Clarentina Evy yang terdeteksi positif menyandang Lupus pada tahun 2016 setelah sakit-sakitan sejak tahun 2011.
Lupus dikenal sebagai penyakit peradangan kronis. Dan disebabkan oleh sistem imun atau kekebalan tubuh yang menyerang sel, jaringan dan organ tubuh sendiri. Lupus menyerang bagian-bagian dan organ-organ tubuh seperti kulit, sendi, sel darah, ginjal, paru-paru, jantung, otak, dan dapat termasuk sumsum tulang bagian belakang.
“Pada tahun awal 2011 seluruh tulang terasa sakit, terutama tulang belakang, dan sendi-sendi terasa kaku, termasuk buku-buku jari terasa sangat kaku. Sampai tidak bisa bangun. Dokter menduga sebagai penyakit rheumatik. Di sini saya mulai merasa sakit-sakitan, padahal sebelumnya tidak pernah menderita sakit serius,” demikian Evy mengenang awal mula Lupus mulai menyerang. Pengobatan rheumatik dijalaninya pada tahun 2011-2012.
Mulai tahun 2013 Evy mulai sering keluar masuk rumah sakit karena sesak nafas, merasa lemas, gampang capek dan detak jantung yang tidak teratur, disertai asam lambung yang sering naik dan gangguan fungsi hati.
“Pada tahun 2013-2014 jantung mengalami pembengkakan dan irama tidak teratur. Bila ukuran normal diameter jantung adalah 11-12 cm, jantung saya berdiameter sekitar 16 cm. Atas konsultasi dokter, maka perlu dilakukan ablasi jantung untuk menormalkan kembali irama jantung. Tetapi dokter tidak berani melakukan ablasi, karena ablasi hanya bisa dilakukan pada kondisi jantung normal,” Evy melanjutkan cerita.
Ablasi adalah tindakan medis berupa operasi untuk mengatasi gangguan irama jantung. Alatnya memakai kateter yang dimasukkan ke dalam ruang dalam jantung. Kateter dihubungkan dengan mesin khusus yang memberikan energi listrik untuk memutus (membakar) jalur konduksi tambahan ataupun fokus-fokus aritmia yang menyebabkan ketidaknormalan irama jantung.
Jantung yang bengkak terus dipantau oleh dokter selama kurang lebih tiga bulan. Sampai suatu saat dokter di RSUP Dr.Sardjito yang menangani terkejut dan terlihat gemetar karena mendapati jantungku kembali berukuran normal
“Jantung yang bengkak terus dipantau oleh dokter selama kurang lebih tiga bulan. Sampai suatu saat dokter di RSUP Dr.Sardjito yang menangani sampai terkejut dan terlihat gemetar karena mendapati jantungku kembali berukuran normal. Beliau berkata bahwa secara medis ini tidak mungkin terjadi secepat itu. Dokter itu juga mengatakan bahwa kejadian ini adalah mujizat,” mata Evy terlihat takjub ketika menceritakan bagian pengalaman ini. Mujizat ini memungkinkan untuk dilakukan ablasi pada bulan September 2014 dan detak jantung dapat menjadi normal kembali.
Tetapi semua tidak lalu semakin membaik setelah itu. Pada akhir tahun 2014 lutut kirinya mulai terasa sakit untuk berjalan, jongkok atau berdiri. Dokter kemudian meyimpulkan sebagai ostheoathritis. Atas anjuran dokter kemudian dilakukan tindakan medis artroskopi pada bulan Maret 2015. Artroskopi adalah pemeriksaan bagian dalam lutut dengan menggunakan teleskop yang dimasukkan melalui sayatan kecil yang dibuat pada kulit sebelum dokter dapat menangani masalah yang terdeteksi. Selama pemeriksaan tersebut digunakan instrumen bedah khusus.
Selama pemulihan artroskopi tubuh Evy semakin kurus hingga hanya berbobot 40 kg dari sebelumnya 60 kg. Sering demam tinggi, sesak nafas dan batuk yang tidak kunjung sembuh, rambut rontok, sariawan hebat, lemas dan muncul bercak hitam di seluruh badan. Evy merasa sangat lemah. Tetapi yang mengherankan dokter tidak menginstruksikan rawat inap dan hanya diberi obat.
Pada tanggal 2 Januari 2016 kondisi Evy terus turun disertai demam, sesak nafas dan merasa lemas. Tekanan darah hanya 50/35. Karena kondisi ini Evy kemudian minta Sakramen Orang Sakit.
“Rama, saya nyuwun sakramen orang sakit, ya. Kalau saya nanti sembuh, ya biar sembuh. Kalau mau dipanggil Tuhan, biar tidak terlalu lama,” pintanya kepada Yohanes Gunawan, Pr. Imam yang juga dosen di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Dengan sabar dilayaninya permintaan Evy. Sambil terus diberi penghiburan dan dorongan moril. Sakramen orang sakit diterimanya pada tanggal 6 Januari 2016 setelah terlebih dahulu dilakukan penerimaan Sakramen Tobat.
Sakramen Orang Sakit seperti mujizat yang kedua bagi Evy. Karena setelah menerima sakramen ini kemudian “ketahuan” bahwa rangkaian sakit yang dideritanya adalah Lupus.
Lupus sendiri terbagi dalam beberapa jenis, yaitu Lupus Eritematosus Sistemik (SLE), Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE) dan Lupus karena obat-obatan. SLE ditengarai paling sering terjadi. Persentase penyebaran dapat mencapai 70% dari seluruh kasus. Gejala paling umum muncul adalah kelelahan, peka terhadap sinar matahari, rambut rontok, nyeri sendi dan bengkak, demam, ruam kulit dan sakit ginjal. CLE gejalanya terlihat di kulit. Kulit akan mengalami ruam kemerahan, rambut rontok, pembuluh darah membengkak, bisul, dan sensitif terhadap sinar matahari.
Lupus karena obat-obatan adalah jenis yang terjadi karena sering mengkonsumsi obat-obat untuk mengatasi kondisi kronis karena suatu penyakit. Seringkali penyakit ini akan hilang bila penggunaan obat-obat tersebut dihentikan.
Lupus kebanyakan menyerang wanita berusia 15 – 45 tahun. Anehnya, ras seperti Afrika, Latin dan Asia memiliki resiko terserang lupus lebih tinggi ketimbang Eropa atau Kaukasian. Penyebabnya sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti. Seringkali diperlukan beragam tes untuk memastikan bahwa seseorang memang menyandang Lupus.
Kondisi sakit ini, di sisi lain, membuat ia sangat menyukuri dukungan orang-orang hebat di sekitarnya. Evy menjadi lebih berbesar hati atas semua pengalaman yang harus diterimanya.
“Kula punika tansah ndedonga ing saben wekdal. Sinambi masak, sinambi nyambut damel punapa kemawon. Mugi Gusti paring kasarasan anak kawula,” kata Xaveria Nur Hayati, ibunya, untuk menyatakan bahwa ia tidak lelah menyambung harapan. Ia selalu berdoa setiap saat. Bahkan sambil bekerja sebagai juru masak di sebuah institusi. Harapan yang tidak berhenti didaraskan adalah berkat kesembuhan bagi putrinya.
“Menawi saged, kula kemawon ingkang nyulihi sakit. Wong kula sampun sepuh,” ayah Evy, Yustinus Sutrisno Raharjo, menimpali sambil menatap Evy. Kalau saja bisa, ayah Evy hendak menggantikan untuk menanggung sakit yang diderita anak sulungnya.
Sore itu Evy memasuki ruang tamu sambil menggunakan alat bantu jalan. Operasi pada bulan November 2018 karena ostheoathritis masih belum sembuh benar. Ini pun masih operasi tahap awal sebelum dilanjutkan dengan rencana penggantian sendi lutut nanti. Tapi hal itu juga tidak menjadikan Evy diam di rumah. Hari Sabtu, 16 Februari 2019 Evy sudah mengikuti misa di Gereja Santo Lukas Prambanan. Matanya memancarkan semangat yang tidak padam. Seperti tajam mata burung elang jawa terus mencari harapan di sekitarnya. Evy hendak terus meneguhkan diri dan orang lain yang juga menyandang Lupus bahwa harapan untuk sembuh selalu ada. Senyum juga tidak pernah meninggalkan bibirnya.
Untuk saling menimba dukungan dengan sesama penyandang Lupus, Evy bergabung dengan Komunitas Peduli Lupus LUPUS WARRIOR yang didirikan oleh Lusia Tyas, seorang dosen sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Lusia Tyas sendiri berhasil bertahan selama 10 tahun sebelum Tuhan memanggilnya beberapa tahun lalu.
Doa adalah sandaran terbaik Evy. Ia tidak membiarkan hatinya jauh dari untaian rosario. Ia tidak dapat lagi menghitung berapa banyak peristiwa rosario yang sudah didaraskan. Malam adalah waktu terbaiknya untuk mendaraskan rosario. Kalau malam Evy jatuh tertidur, pagi menjadi pilihan waktunya.
“Tetapi sering saya terbangun malam kalau belum berdoa rosario. Sepertinya Bunda Maria selalu menemani saya berdoa rosario,” kata Evy menutup perbincangan, selepas adzan isya’ merambati langit malam di Dusun Taji.
Entah sampai kapan Evy harus terus menjalani terapi medis. Tetapi Evy berjanji tidak akan lelah untuk terus berusaha dan berdoa sambil menggandeng tangan orang-orang hebat yang terus mendukung dan mengasihinya. “I make Lupus looks good,” katanya pada sebuah waktu. Kalimat pendek itu seperti sebuah janji bahwa semangatnya tidak akan pernah padam sampai kesembuhan dianugerahkan Tuhan nanti. Pesan tentang iman, harapan dan hidup telah dihidupi oleh Evy dan menjadi sebuah kesaksian bagi orang lain.
Menikah di Gereja Maria Marganingsih Kalasan pada tanggal 19
April 2009, Evy dikaruniai anak semata wayang perempuan Maria Jessica. Suaminya,
Amazia Suwandono, bagi Evy adalah berkat Tuhan yang tidak akan pernah lelah ia syukuri.
Penerimaan dan dukungan yang diberikan tidak pernah berkurang dari waktu ke
waktu. Karakternya yang pendiam membuatnya lebih banyak berkata-kata dengan
tindakan. Biaya pengobatan selama ini juga banyak dibantu oleh PT Sari Husada
Klaten tempat suaminya bekerja.
*Seperti disharingkan kepada Adrian Diarto