Oleh Rm Albertus Herwanto, OCarm
Manusia hidup dalam pelbagai keterbatasan. Pada saat mengalaminya orang merasakan secara konkret beban hidup. Orang miskin yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan pokoknya merasakan beban hidup. Kaum kaya raya yang tidak bersyukur atas segala harta miliknya pun mengalami beban yang berat.
Masyarakat modern dengan segala kecanggihannya tetap memiliki beban hidup. Gadget yang sangat mempermudah komunikasi antar manusia menyeretnya ke dalam kecanduan baru; merenggangkan relasi antar pribadi lewat polarisasi yang disembuhkan sulit sekali.
Beban hidup itu ada dua, yakni beban eksternal dan beban internal. Yang pertama disebabkan oleh faktor dari luar dirinya seperti situasi sosial-ekonomi atau lingkungan yang tidak mendukung. Yang kedua berasal dari manusia sendiri. Misalnya, menyimpan kesalahan orang lain, mendendam dan tidak mau mengampuni.
Sumber beban internal adalah kesombongan, merasa diri benar dan hati yang tegar. Ini sangat sulit diatasi. Orang miskin yang sakit dan tidak mampu berobat masih bisa dibantu oleh donatur. Tetapi orang yang memutuskan tidak mengampuni nyaris tidak bisa ditolong, karena keputusan ada di tangannya sendiri.
Sang Guru Kehidupan bersabda:”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Dia mengundang orang untuk datang dan melepaskan beban internal dengan bersikap lemah lembut dan rendah hati.
Mereka yang menuruti undangan-Nya membebaskan diri dari segala beban internal. Hingga kini masih banyak orang yang enggan datang kepada-Nya. Ironis, niat melepaskan beban internal itu telah menjadi beban terberat dalam hidup manusia.
Universitas Katolik Widya Karya Malang,
19 Juli 2019
Catatan: Tulisan dimuat atas seijin penulis