Perayaan Minggu Palma: Menyadari Kemanusiaan Kita yang Rapuh

KOMSOS-GMK. Perayaan Ekaristi Minggu Palma II pada pukul 08:00, 14 April 2019, di gereja Marganingsih Kalasan berlangsung meriah sekaligus khitmat. Sejak pukul 07:30 umat sudah memadati sepanjang jalan menuju taman doa, tempat diselenggarakanya upacara pemberkatan daun palma. Panas yang mulai terik menyengat tidak menyurutkan niat ratusan umat untuk mengikuti upacara pemberkatan ini. Di tangan mereka tergenggam setangkai daun palma yang akan mereka gunakan untuk mengelu-elukan Yesus sebagaimana yang pernah dilakukan orang-orang Yahudi yang mengelu-elukan Yesus menuju kota Yerusalem. Perayaan ekaristi dipimpin oleh Rm Antonius Dadang Hermawan Pr., didampingi Diakon Yoseph Didik Mardiyanto.

Dalam homili singkatnya, Rm Dadang menjelaskan bahwa gereja Katolik memilik banyak simbol yang kaya makna. Salah satunya adalah mengawali masuk gereja dengan perarakan daun palma. Melalui perarakan ini, kita mengenang kembali peristiwa ketika Yesus dulu pernah dielu-elukan orang-orang yang percaya akan segala mukjizatNya. Mereka masih memuji-muji dan memeriahkan Yesus karena melihat mukjizat, namun mereka belum memahami apa arti mukjizat yang sebenarnya. Mukjizat yang dilakukaan Yesus sebetulnya bisa membantu mereka untuk mengenali Yesus bahwa Yesus adalah sosok yang dinanti-nantikan yakni sebagai Sang Mesias. Mereka belum tahu apa arti mukjizat.

Dalam perayaan minggu palma, kita mengenangkan kemeriahan memasuki Yerusalem sebagai tempat dimana Yesus dielu-elukan sekaligus dibunuh; dua sisi yang berbeda dalam waktu yang singkat. Yerusalem disimbolkan dengan gedung gereja. Maka perarakan dari taman doa menuju gereja kali ini melambangkan perjalanan menuju Yerusalem baru. Yerusalem baru masih kita rindukan yakni saat kita disatukan dengan Tuhan sendiri kelak ketika Kristus datang untuk kedua kalinya yakni kedatangan Kristus pada akhir zaman. Kedatangan Kristus yang pertama adalah saat Yesus lahir di dunia dan kedatangan Yesus yang kedua adalah pada akhir zaman. 

Perarakan umat menuju gereja diawali dengan barisan misdinar, kemudian diikuti oleh kelompok kor dan dilanjutkan dengan umat. Sementara barisan prodiakon dan romo berada di barisan paling belakang. Sepanjang perarakan umat dan kelompok kor dari lingkungan Sacra Familia Kadirojo II yang berseragam serba merah menyala (perempuan) dan batik coklat (lelaki) dengan penuh semangat menyanyikan lagu “Wahai Umat Bersoraklah, Yerusalem Lihatlah Rajamu dan Kau Kristus Raja Pemenang”.


Dalam perayaan ekaristi itu, yang bertugas sebagai lektor adalah Kitin dan Oki dan passio dibawakan dengan penuh penghayatan oleh Sita, Edgar dan Galih. Petugas passio mampu menarasikan kisah sengsara Yesus dengan sangat baik dan membawa umat kepada penghayatan mendalam.

Sementara dalam kotbahnya di dalam gereja,  Rm Dadang menyebutkan bahwa pekan suci ditandai dengan perayaan minggu palma. Palma yang tadi dibawa sebagai sarana untuk mengelu-elukan Yesus, nanti akan dibawa pulang ke rumah.

‘Silahkan daun palma dipasang atau diselipkan di kayu salib. Palma itu menjadi simbol kita, yang semula kuat tetapi bisa menjadi rapuh. Dan menjadi simbol hari ini, yang semula mengelu-elukan Yesus, tidak sampai dalam hitungan hari, sudah  berubah dan mengatakan salibkan dia,” jelas Rm Dadang.

Liturgi minggu palma tidak dimaksudkan untuk menaruh belas kasihan kepada Yesus. Dalam bacaan kitab suci, Yesus digambarkan sebagai sosok yang tabah dan kuat menjalani semua derita. Yesus merendahkan diri, mengosongkan dirinya  dan taat sampai wafat di salib.

“Liturgi ini dimaksudkan bukan untuk “mesakke” kepada Gusti Yesus, bukan itu. Tetapi ini menjadi cerminan bagi kita untuk “mesakke” kepada kemanusiaan kita  karena kita sebagai manusia bisa berubah total. Esuk dhele, sore tempe,” ucap Rm Dadang.

Rm Dadang juga mengajak kita semua untuk mau melihat diri kita dan berjuang dari waktu ke waktu untuk terus-menerus memperbaharui kemanusian kita. Bisa jadi di dalam diri kita ada kejahatan-kejahatan yang bersengkongkol untuk melakukan kejahatan. Sebagaimana Herodes dan Pilatus yang semula berseteru namun karena mempunyai kepentingan yang sama yakni untuk membunuh Yesus maka keduanya menjadi bersepakat dan rukun. Itulah politik. Tidak ada musuh yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan.

“Marilah kita memasuki pekan suci dengan merenungkan lebih dekat penderitaan Yesus, sekaligus kita menyadari kejahatan kemanusiaan kita yang rapuh. Bisa jadi karena perbuatan jahat kita, tanpa sadar kita turut menyalibkan Yesus,” kata Rm Dadang di akhir kotbahnya.

Catatan: foto oleh Monica

yusupriyas

Pengajar Les Bahasa Inggris SD, SMP/SMA, mahasiswa/umum (conversation, TOEFL/IELTS), penulis buku (lebih dari 70 buku pengayakan bahasa Inggris ), profesional editor & translator, Peminat sastra dan fotografi. Bisa dikontak di 08121598358 atau yusup2011@gmail.com.

Learn More →

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *